Senin

Senin mengetuk jendela kamarmu yang kedinginan. Suaranya yang kasar membangunkanmu dari mimpi berlarian di pantai bersama kawan-kawan lama. Dan jam dinding sepertinya tidak berdusta bahwa jarumnya yang licik itu telah sampai di angka tujuh. Jarum panjangnya bahkan tujuh belas menit mendahului.

Kau hanya membuka mata, tidak ada motivasi yang kuat untuk bangkit dari tempat tidur dan bergegas berangkat kerja. Sepertinya mimpi indah tadi telah bersekongkol dengan hujan semalaman untuk mendamaikanmu di atas kasur empuk sepanjang hari. Tapi tiba-tiba Senin yang menyebalkan itu muncul dan mengacaukan segala rencana mereka.

Kalau bukan karena tuntutan hidup, kau lebih memilih untuk kembali menarik selimut dan tidur dengan tenang sampai rasa puas membangunkanmu lagi. Sayangnya tidak ada pilihan. Senin berarti harus bangun dan mandi dan kalau sempat sarapan lalu melaju di jalanan menuju tempat pengabdian yang membosankan, sungguh membosankan.

"Hai, anak muda. Tunggu apa lagi. Tidakkah kau lihat jarum jam itu? Tidakkah kau butuh uang?" Senin memukul-mukul dari balik jendela. 

"Iya, sabar," kau jawab dengan malas.

"Tidak ada waktu untuk bersabar dan bersantai anak muda. Tidakkah kau perhatikan dunia terus bergerak setiap detik. Satu detik kau duduk diam di sana dan melamun, satu detik pula kau ketinggalan laju perubahan," ia masih saja meracau sendiri. Kau sama sekali tak peduli. 

"Kau tahu apa yang negeri ini harapkan dari para pemuda? Negeri ini butuh orang-orang yang senantiasa bergerak maju. Orang-orang yang setiap pagi bangun dengan semangat membara dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Orang-orang yang penuh inovasi dan siap menghadapi tantangan apa pun yang mungkin datang."

"Terus?" Tanyamu sambil mengucek mata.

"Terus? Terus kau masih saja duduk di ranjangmu? Cepat berdiri dan masuk kamar mandi. Aku tunggu sebentar lagi, kita akan berangkat untuk pengabdian pada Ibu Pertiwi ini".

"Pengabdian apa? Bukannya lebih tepat disebut perbudakan?"

"Oh, oh, kau salah anak muda. Kita tidak diperbudak, tapi..."

"Tapi kita sendiri yang menyerahkan diri dengan sukarela," cepat kau memotong kata-katanya.

"Bukan, bukan. Kau belum mengerti. Yang penting sekarang lekas mandi dan jangan menunda-nunda lagi."

"Tapi aku malas. Masih terlalu dingin."

"Itu cuma alasanmu."

Lalu rintik-rintik turun dari langit. Sepertinya hujan dari tadi malam belum puas menidurkanmu. 

"Hai, cepatlah. Sebelum hujan turun lagi. Nanti kau terlambat."

"Hujan? Benarkah hujan? Wah, kau lihat sendiri kan, alam memang tidak ingin aku berangkat kerja pagi ini,” sepertinya kau telah memutuskan. 

"Kau harus berangkat!"

Gerimis tadi berubah menjadi hujan. Hujan yang lebat. Senin basah kuyup di luar jendela kamarmu. Dia masih berupaya memaksamu bangkit. Kau hanya tersenyum senang.

"Sudahlah. Aku tidak harus berangkat. Langit tidak mengizinkan."

Kau berdiri dari tempat tidurmu. Menghampiri jendela. Menatap iba pada Senin yang menggigil. 

"Kau tidak mau masuk? Ada teh hangat dan musik yang menenangkan. Kita istirahat saja hari ini."

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Terus kau mau apa?"

"Aku mau kau ikut bersamaku, pergi bekerja"

"Hujan-hujan begini?

"Tidak masalah buatku.”

"Tapi masalah buatku.”

"Kau memang selalu mempermasalahkan segala hal."

"Memang begitu sifatku."

"Ah, sudahlah. Segera mandi! Kita pergi sekarang, meskipun terlambat"

"Maaf, Senin. Seminggu sekali kau selalu mampir ke jendela kamarku. Kau selalu memintaku untuk pergi bekerja. Kau memaksaku untuk melakukannya. Meski berat dan memuakkan, aku dengan terpaksa mengikuti semua permintaanmu. Bertahun-tahun lamanya begitu, tetapi hari ini tidak. Aku mau terlepas dari semua belenggu yang mengekangku. Sekali ini, aku akan menuruti kata hatiku. Kalau kau tak setuju, itu terserahmu."

Kemudian tirai jendela kaututup. Lampu kaumatikan. Musik kaunyalakan. Selimut kautarik. Semua kembali hening. Tinggal Senin yang kedinginan di luar dan jam dinding yang kebingungan di dalam. Kau tertidur sangat pulas.

Tidak seperti Senin biasanya, entah kenapa pagi ini kau yakin takkan rugi apa pun. Dan kau merasa seharusnya memang tak perlu takut kepada atasan yang sukanya mencari kesalahan, kepada uang yang katanya bisa membeli kebahagiaan, dan kepada standar sosial yang mewajibkan bangun pagi sebagai syarat kesuksesan.

Waktu tidak pernah habis. Uang tidak pernah hilang. Dan kau juga tidak perlu khawatir ditinggal laju perubahan. Tidak ada yang sedang berlari di sini. Semua berjalan di jalannya masing-masing. Tak lama kemudian, mimpi yang lebih indah menyambangi tidurmu.

***

0 Response to "Senin"

Post a Comment